Sejarah kehadiran Islam di Indonesia, menunjukkan bahwa pendidikan Islam
memiliki peranan penting
bagi perkembangan masyarakat
muslim. Pusat pendidikan Islam adalah langgar, masjid atau rumah sang guru, tempat
murid-murid duduk di lantai, menghadapi sang guru dan belajar mengaji. Waktu
mengajar biasanya diberikan pada waktu malam hari agar
tidak mengganggu pekerjaan orangtua sehari-hari. Menurut Zuhairini (1997:212),
tempat-tempat pendidikan Islam nonformal seperti inilah yang “menjadi embrio
terbentuknya sistem pendidikan pondok pesantren.” Ini berarti bahwa sistem
pendidikan pada pondok pesantren masih hampir sama seperti sistem pendidikan di
langgar atau masjid, hanya lebih intensif dan dalam waktu yang lebih lama.
Realitas rekaman sejarah di atas adalah bagian
kecil dan sedikit yang dapat diketahui tentang perkembangan pesantren di masa
lalu, terutama sebelum Indonesia dijajah Belanda, karena dokumentasi sejarah
sangat kurang. Bukti yang dapat dipastikan
menunjukkan bahwa pemerintah Belanda memang membawa kemajuan teknologi ke
Indonesia dan memperkenalkan sistem dan metode pendidikan baru. Namun,
pemerintah Belanda tidak melaksanakan kebijakan yang mendukung
sistem pendidikan yang sudah ada di Indonesia, yaitu sistem pendidikan Islam.
Malah pemerintah penjajah Belanda membuat kebijakan dan peraturan yang
membatasi dan merugikan pendidikan Islam. Ini bisa kita lihat dari kebijakan-kebijakan berikut.
Pada tahun 1882 pemerintah Belanda mendirikan Priesterreden
(Pengadilan Agama) yang bertugas mengawasi kehidupan beragama dan pendidikan
pesantren. Tidak begitu lama setelah itu, dikeluarkan Ordonansi tahun
1905 yang berisi peraturan bahwa guru-guru agama yang akan mengajar harus
mendapatkan izin dari pemerintah setempat. Peraturan yang lebih diawasi secara ketat, kemudian diterbitkan lagi
pada tahun 1925 yang membatasi bagi siapa saja yang boleh memberikan pelajaran mengaji. Akhirnya, pada
tahun 1932 peraturan dikeluarkan yang dapat memberantas dan menutup madrasah
dan sekolah yang tidak ada izinnya atau yang memberikan pelajaran yang tak
disukai oleh pemerintah. (Dhofier 1985:41, Zuhairini 1997:149)
Peraturan-peraturan tersebut membuktikan adanya diskriminasi
atas kebijakan pemerintah Belanda terhadap pendidikan
Islam di Indonesia. Pada tahap berikutnya, pendidikan pondok pesantren juga masih menghadapi tantangan yang tidak jauh berbeda pada masa kemerdekaan Indonesia. Setelah penyerahan
kedaulatan pada tahun 1949, pemerintah Republik Indonesia mendorong pembangunan
sekolah umum seluas-luasnya dan membuka secara luas jabatan-jabatan dalam
administrasi modern bagi bangsa Indonesia yang terdidik dalam sekolah-sekolah
umum tersebut. Dampak dari kebijakan
tersebut adalah bahwa kekuatan pesantren sebagai pusat pendidikan Islam di
Indonesia kurang mendapat
perhatian yang segnifikan. Ini berarti bahwa jumlah anak-anak muda
yang dulu tertarik kepada pendidikan pesantren semakin menurun dibandingkan dengan anak-anak muda yang ingin
mengikuti pendidikan sekolah umum yang mendapat prioritas.
Akibatnya, tidak sedikit pesantren-pesantren kecil yang tidak mampu bertahan.
Jika melihat peraturan-peraturan tersebut, baik yang dikeluarkan pemerintah Belanda selama
bertahun-tahun maupun yang dibuat pemerintah RI, menarik untuk disimpulan bahwa
perkembangan dan pertumbuhan sistem pendidikan Islam, dan terutama sistem
pesantren, berkembang sangat lambat dan terbatas. Akan tetapi, apa yang dapat
disaksikan dalam sejarah adalah bahwa pada umumnya pertumbuhan
pendidikan pesantren tetap mampu bertahan dan bahkan banyak diantaranya yang berkembang dengan pesat
luar biasa. Seperti yang dikatakan Zuhairini (1997:150), ternyata “jiwa
Islam tetap terpelihara dengan baik” di Indonesia.
Pendirian pesantren, pada
hakikatnya dilandasi oleh rasa tanggung jawab orang-perorang selaku hamba Allah
untuk menyeru kepada kebajikan, dan mencegah kemungkaran, serta adanya rasa
tanggung jawab sosial sebagai anggota masyarakat untuk membina dan mendidik
umat dalam mempelajari, memahami, dan mengamalkan ajaran-ajaran Islam dalam
kehidupan sehari-hari.
Dalam budaya pondok
pesantren, seorang kyai memiliki berbagai macam peran, disamping sebagai
pengasuh pondok, guru dan pembimbing bagi para santri, kyai juga berperan
sebagai orangtua asuh, karena para kyai umumnya tinggal bersama-sama dengan
para santri di lingkungan pondok pesantren. Bahkan untuk mempertahankan
eksistensi pondok, kyai berusaha mencari dana untuk pembiayaan pondok yang
diasuhnya, tanpa harus kehilangan perhatiannya dalam mengerjakan urusan-urusan
lembaga pesantren dengan berbagai problem yang dihadapinya. Sebagai
pengasuh pondok, peran kyai yang paling
penting disamping
sebagai guru dan pembimbing bagi para santri, adalah memberi motivasi kepada para santrinya agar menjadi pribadi yang sholeh dan sholehah baik secara individu maupun sosial.
PONDOK PESANTREN HURRIYATUL UMMAH
Pondok Pesantren Hurriyatul Ummah adalah salah satu
pesantren yang keberadaanya tidak jauh berbeda dengan berkembangan kebanyakan
pesantren di Indonesia pada umumnya dan di Jawa Barat khususnya. Kalaupun ada
yang perbeda dapat disebut karena motivasi dan latar belakang berdirinya
pesantren ini sebagai apresiasi atas keprihatinan pemuda-pemuda pelajar dan
mahasiswa asal Timor yang belajar di
lembaga-lembaga pendidikan di Jawa Barat, setelah mendapat dukungan para tokoh
agama dan masyarakat atas problem integrasi Timor Leste-Indonesia yang
berujung pada opsi Jejak Pendapat
yang terjadi pada tahun 1999 dan
berimplikasi pada timbulnya gelombang pengungsian secara masif. Sebagian
masyarakat Timor yang memilih kemerdekaannya di satu sisi dan memilih opsi
pro-Indonesia di sisi lain, masing-masing pilihan itu memiliki konsekuensi yang
mengakibatkan munculnya broblem-problem sosial, karena sangat mungkin dengan
terjadinya perbedaan pilihan itu berimplikasi memisahkan anak dan orang tua,
keluarga yang satu dengan yang lainnya, bahkan bisa memisahkan sang suami dari
istrinya. Realitas inilah yang menyebabkan anak-anak terpisah dengan orang
tuanya dan berujung pada lahirnya: anak-anak yatim, probem kemiskinan dan
bahkan boleh jadi problem pertaruhan keyakinan (konversi agama).
Taraf hidup masyarakat Timor yang tergolong rendah
dibanding dengan masyarakat Indonesia yang hidup di Provinsi lain terutama di
pulau Jawa juga ikut memperburuk suasana kehidupan masyarakat Timor, ditambah
lagi dengan arus globalisasi dan perkembangan tehnologi informasi yang
cenderung memberi pengaruh negatif lebih banyak dari pada dampak positifnya.
Alasan-alasan itulah yang mendorong para pemuda dan
mahasiswa serta tokoh-tokoh yang memiliki kepedulian relatif tinggi terhadap
problem sosial keagamaan untuk memprakarsai berdirinya lembaga yang berbasis
pendidikan pondok pesantren. Pondok pesantren Hurriyatul Ummah adalah salah
satu pesantren yang saat ini dihuni oleh para santri asal Timor Timur yang
berjumlah kurang lebih 70 orang santri putra dan putri. Sebagian besar para santri
sedang belajar di berbagai lembaga pendidikan di Kabupaten Bandung dan Kota
Bandung, setelah usai menjalankan aktivitasnya dari sekolah atau Perguruan
Tinggi, mereka diharuskan mengikuti rutinitas kegiatan pesantren memperdalam
pemahaman ajaran Islam. Pada mulanya para santri sampai kira-kira bulan Agustus
tahun 2013, mereka menempati dua buah rumah yang dijadikan asrama putra-putri
masing-masing berukuran/tipe 36 bertempat di Komplek Bumi Cipacing Permay
(PUSKOPAD) Jl. Kartika X blok R No. 7 Jatinangor Bandung, sebagai hasil kontribusi
dan sumbangan infaq, shodaqoh serta zakat dari ibu-ibu kelompok pengajian
majlis ta’lim di Bandung dan sekitarnya.
Pengembangan Ponpes Hurriyatul Ummah seiring dengan bertambahnya
jumlah santri, telah dirintis perluasannya di kampung Mekarasih RT/RW 001/013 Desa Hegarmanah Jatinangor Sumedang, menempati tanah
wakaf seluas + 2000 m2 dari bapak H. Setiawan
(seorang pejabat Pemda Jawa Barat). Saat ini di lakasi baru tersebut telah
dibangun satu buah masjid dan dua bangunan, satu bangunan dua lantai: bagian atas dihuni para santri putra dan
bagian bawah dijadikan ruang serbaguna, sebuah gedung lainnya yang diberi nama
gedung Hj. Suryati-Hj. Popon, diperuntukkan bagi santri putri. Sementara
satu buah rumah dua lantai berdampingan dengan masjid yang saat ini masih dalam
penyelesaian adalah rumah kediaaman pengasuh pesantren bagian lantai atas dan
para asatidz (guru-guru di lantai bawah. Walaupun pengembangan pembangunan
pesantren sedang berlanjut, namun begitu, tidak menjadi halangan bagi
kontinyuitas aktivitas santri yang berada di lokasi baru tersebut untuk
melaksanakan kegiatan syi’ar Islam, seperti:
1. Pengajian rutin ibu-ibu di ke Rt-an sekitar lokasi
pesantren;
2. Sholat berjama’ah lima waktu;
3. Kajian tafsir Al Qur’an;
4. Tahfiidzul Qur’an;
5. Hafalan Makhfudhot;
6. Latihan pidato berbahasa Indonesia, Arab dan Inggris;
7. Diskusi tentang masalah sosial keagamaan;
8. Pengajian anak-anak yang tinggal di sekitar pesantren;
9. Kerjabakti santri untuk kebersihan lingkungan dan
perawatan pohon-pohon penghijauan;
Bagi para santri yang telah menyelesaikan pendidikannya,
baik yang telah menamatkan pedidikan tingkat Aliyah ataupun Universitas
direkomendasikan agar mereka kembali ke
kampung halaman, mengabdikan ilmu yang telah dituntut di Bandung Jawa Barat
untuk mendakwahkan syiar Islam, sesuai dengan kapasitas dan profesi
masing-masing alumni pondok pesantren Hurriyatul Ummah. Mereka para alumni
diantarnya ada yang berprofesi sebagai PNS di Kementerian Agama, Guru, Pegawai
PEMDA dan bahkan ada yang menjadi anggota dewan di DPRD Kab/Kota di daerah
perbatasan Timor Leste, seperti: Alor, Atambua, Pulau Rote dan Flores.
VISI dan MISI
I. Visi
"Membentuk kader-kader Muslim yang
kaffah dan mampu menjadi avant-guard (penjaga gawang) bagi penguatan aqidah
islamiyah"
II. Misi
Sebagai
sebuah institusi Pendidikan non formal yang akan melahirkan pribadi-pribadi
Muslim yang kaffah, berkarakter serta berjiwa kemandirian, maka misi Pesantren
Hurriyatul Ummah dalam mengembangkan sistem pendidikannya dituangkan
dalam beberapa misi sebagai berikut:
1.
Menanamkan
fondasi keislaman yang kokoh berdasarkan al-Qur'an dan Sunnah;
2.
Mencetak
juru da'wah (Da'i) yang militan berwawasan plural
dan multikultural;
3.
Membentuk
pribadi Muslim yang berakhlakul karimah, mandiri, terampil dan maju;
4.
Menggalang
kesatuan dan persatuan di antara kaum Muslimin Indonesia dalam memberikan
daya dukung terhadap pembangunan iman dan taqwa;
5.
Menggalang
kesatuan dan persatuan di antara ummat manusia, sebagai
implementasi ajaran islam yang rahmatan lil ‘alamin.
Panca Jiwa Pondok
1. Keikhlasan
2. Kesederhanaan
3. Berdikari
4. Ukhuwah Diniyah
5. Kebebasan
Motto
o
Berbudi Tinggi
o
Berbadan Sehat
o
Berpengetahuan Luas
o
Berfikiran Bebas
Tidak ada komentar:
Posting Komentar