Kamis, 10 April 2014

PROFIL PONPOK PESANTREN HURRIYATUL UMMAH

Muqaddimah

Sejarah kehadiran Islam di Indonesia, menunjukkan bahwa pendidikan Islam memiliki peranan penting bagi perkembangan masyarakat muslim. Pusat pendidikan Islam adalah langgar, masjid atau rumah sang guru, tempat murid-murid duduk di lantai, menghadapi sang guru dan belajar mengaji. Waktu mengajar biasanya diberikan pada waktu malam hari agar tidak mengganggu pekerjaan orangtua sehari-hari. Menurut Zuhairini (1997:212), tempat-tempat pendidikan Islam nonformal seperti inilah yang “menjadi embrio terbentuknya sistem pendidikan pondok pesantren.” Ini berarti bahwa sistem pendidikan pada pondok pesantren masih hampir sama seperti sistem pendidikan di langgar atau masjid, hanya lebih intensif dan dalam waktu yang lebih lama.
 Realitas rekaman sejarah di atas adalah bagian kecil dan sedikit yang dapat diketahui tentang perkembangan pesantren di masa lalu, terutama sebelum Indonesia dijajah Belanda, karena dokumentasi sejarah sangat kurang. Bukti yang dapat dipastikan menunjukkan bahwa pemerintah Belanda memang membawa kemajuan teknologi ke Indonesia dan memperkenalkan sistem dan metode pendidikan baru. Namun, pemerintah Belanda tidak melaksanakan kebijakan yang mendukung sistem pendidikan yang sudah ada di Indonesia, yaitu sistem pendidikan Islam. Malah pemerintah penjajah Belanda membuat kebijakan dan peraturan yang membatasi dan merugikan pendidikan Islam. Ini bisa kita lihat dari kebijakan-kebijakan berikut.
Pada tahun 1882 pemerintah Belanda mendirikan Priesterreden (Pengadilan Agama) yang bertugas mengawasi kehidupan beragama dan pendidikan pesantren. Tidak begitu lama setelah itu, dikeluarkan Ordonansi tahun 1905 yang berisi peraturan bahwa guru-guru agama yang akan mengajar harus mendapatkan izin dari pemerintah setempat. Peraturan yang lebih diawasi secara ketat, kemudian diterbitkan lagi pada tahun 1925 yang membatasi bagi siapa saja yang boleh memberikan pelajaran mengaji. Akhirnya, pada tahun 1932 peraturan dikeluarkan yang dapat memberantas dan menutup madrasah dan sekolah yang tidak ada izinnya atau yang memberikan pelajaran yang tak disukai oleh pemerintah. (Dhofier 1985:41, Zuhairini 1997:149)
Peraturan-peraturan tersebut membuktikan adanya diskriminasi atas kebijakan pemerintah Belanda terhadap pendidikan Islam di Indonesia. Pada tahap berikutnya, pendidikan pondok pesantren juga masih menghadapi tantangan yang tidak jauh berbeda pada masa kemerdekaan Indonesia. Setelah penyerahan kedaulatan pada tahun 1949, pemerintah Republik Indonesia mendorong pembangunan sekolah umum seluas-luasnya dan membuka secara luas jabatan-jabatan dalam administrasi modern bagi bangsa Indonesia yang terdidik dalam sekolah-sekolah umum tersebut. Dampak dari kebijakan tersebut adalah bahwa kekuatan pesantren sebagai pusat pendidikan Islam di Indonesia kurang mendapat perhatian yang segnifikan. Ini berarti bahwa jumlah anak-anak muda yang dulu tertarik kepada pendidikan pesantren semakin menurun dibandingkan dengan anak-anak muda yang ingin mengikuti pendidikan sekolah umum yang mendapat prioritas. Akibatnya, tidak sedikit pesantren-pesantren kecil yang tidak mampu bertahan.
Jika melihat peraturan-peraturan tersebut, baik yang dikeluarkan pemerintah Belanda selama bertahun-tahun maupun yang dibuat pemerintah RI, menarik untuk disimpulan bahwa perkembangan dan pertumbuhan sistem pendidikan Islam, dan terutama sistem pesantren, berkembang sangat lambat dan terbatas. Akan tetapi, apa yang dapat disaksikan dalam sejarah adalah bahwa pada umumnya pertumbuhan pendidikan pesantren tetap mampu bertahan dan bahkan banyak diantaranya yang berkembang dengan pesat luar biasa. Seperti yang dikatakan Zuhairini (1997:150), ternyata “jiwa Islam tetap terpelihara dengan baik” di Indonesia.
Pendirian pesantren, pada hakikatnya dilandasi oleh rasa tanggung jawab orang-perorang selaku hamba Allah untuk menyeru kepada kebajikan, dan mencegah kemungkaran, serta adanya rasa tanggung jawab sosial sebagai anggota masyarakat untuk membina dan mendidik umat dalam mempelajari, memahami, dan mengamalkan ajaran-ajaran Islam dalam kehidupan sehari-hari.
Dalam budaya pondok pesantren, seorang kyai memiliki berbagai macam peran, disamping sebagai pengasuh pondok, guru dan pembimbing bagi para santri, kyai juga berperan sebagai orangtua asuh, karena para kyai umumnya tinggal bersama-sama dengan para santri di lingkungan pondok pesantren. Bahkan untuk mempertahankan eksistensi pondok, kyai berusaha mencari dana untuk pembiayaan pondok yang diasuhnya, tanpa harus kehilangan perhatiannya dalam mengerjakan urusan-urusan lembaga pesantren dengan berbagai problem yang dihadapinya. Sebagai pengasuh pondok, peran kyai yang  paling penting disamping sebagai guru dan pembimbing bagi para santri, adalah memberi motivasi kepada para santrinya agar menjadi pribadi yang sholeh dan sholehah baik secara individu maupun sosial.

PONDOK PESANTREN HURRIYATUL UMMAH
         
Pondok Pesantren Hurriyatul Ummah adalah salah satu pesantren yang keberadaanya tidak jauh berbeda dengan berkembangan kebanyakan pesantren di Indonesia pada umumnya dan di Jawa Barat khususnya. Kalaupun ada yang perbeda dapat disebut karena motivasi dan latar belakang berdirinya pesantren ini sebagai apresiasi atas keprihatinan pemuda-pemuda pelajar dan mahasiswa asal Timor  yang belajar di lembaga-lembaga pendidikan di Jawa Barat, setelah mendapat dukungan para tokoh agama dan masyarakat atas problem integrasi Timor Leste-Indonesia yang berujung pada  opsi Jejak Pendapat yang terjadi pada tahun 1999  dan berimplikasi pada timbulnya gelombang pengungsian secara masif. Sebagian masyarakat Timor yang memilih kemerdekaannya di satu sisi dan memilih opsi pro-Indonesia di sisi lain, masing-masing pilihan itu memiliki konsekuensi yang mengakibatkan munculnya broblem-problem sosial, karena sangat mungkin dengan terjadinya perbedaan pilihan itu berimplikasi memisahkan anak dan orang tua, keluarga yang satu dengan yang lainnya, bahkan bisa memisahkan sang suami dari istrinya. Realitas inilah yang menyebabkan anak-anak terpisah dengan orang tuanya dan berujung pada lahirnya: anak-anak yatim, probem kemiskinan dan bahkan boleh jadi problem pertaruhan keyakinan (konversi agama).
Taraf hidup masyarakat Timor yang tergolong rendah dibanding dengan masyarakat Indonesia yang hidup di Provinsi lain terutama di pulau Jawa juga ikut memperburuk suasana kehidupan masyarakat Timor, ditambah lagi dengan arus globalisasi dan perkembangan tehnologi informasi yang cenderung memberi pengaruh negatif lebih banyak dari pada dampak positifnya.
Alasan-alasan itulah yang mendorong para pemuda dan mahasiswa serta tokoh-tokoh yang memiliki kepedulian relatif tinggi terhadap problem sosial keagamaan untuk memprakarsai berdirinya lembaga yang berbasis pendidikan pondok pesantren. Pondok pesantren Hurriyatul Ummah adalah salah satu pesantren yang saat ini dihuni oleh para santri asal Timor Timur yang berjumlah kurang lebih 70 orang santri putra dan putri. Sebagian besar para santri sedang belajar di berbagai lembaga pendidikan di Kabupaten Bandung dan Kota Bandung, setelah usai menjalankan aktivitasnya dari sekolah atau Perguruan Tinggi, mereka diharuskan mengikuti rutinitas kegiatan pesantren memperdalam pemahaman ajaran Islam. Pada mulanya para santri sampai kira-kira bulan Agustus tahun 2013, mereka menempati dua buah rumah yang dijadikan asrama putra-putri masing-masing berukuran/tipe 36 bertempat di Komplek Bumi Cipacing Permay (PUSKOPAD) Jl. Kartika X blok R No. 7 Jatinangor Bandung, sebagai hasil kontribusi dan sumbangan infaq, shodaqoh serta zakat dari ibu-ibu kelompok pengajian majlis ta’lim di Bandung dan sekitarnya.
Pengembangan Ponpes Hurriyatul Ummah seiring dengan bertambahnya jumlah santri, telah dirintis perluasannya di kampung Mekarasih RT/RW 001/013 Desa Hegarmanah Jatinangor Sumedang, menempati tanah wakaf seluas + 2000 m2 dari bapak H. Setiawan (seorang pejabat Pemda Jawa Barat). Saat ini di lakasi baru tersebut telah dibangun satu buah masjid dan dua bangunan, satu bangunan dua lantai:  bagian atas dihuni para santri putra dan bagian bawah dijadikan ruang serbaguna, sebuah gedung lainnya yang diberi nama gedung Hj. Suryati-Hj. Popon, diperuntukkan bagi santri putri. Sementara satu buah rumah dua lantai berdampingan dengan masjid yang saat ini masih dalam penyelesaian adalah rumah kediaaman pengasuh pesantren bagian lantai atas dan para asatidz (guru-guru di lantai bawah. Walaupun pengembangan pembangunan pesantren sedang berlanjut, namun begitu, tidak menjadi halangan bagi kontinyuitas aktivitas santri yang berada di lokasi baru tersebut untuk melaksanakan kegiatan syi’ar Islam, seperti:
1.   Pengajian rutin ibu-ibu di ke Rt-an sekitar lokasi pesantren;
2.   Sholat berjama’ah lima waktu;
3.   Kajian tafsir Al Qur’an;
4.   Tahfiidzul Qur’an;
5.   Hafalan Makhfudhot;
6.   Latihan pidato berbahasa Indonesia, Arab dan Inggris;
7.   Diskusi tentang masalah sosial keagamaan;
8.   Pengajian anak-anak yang tinggal di sekitar pesantren;
9.   Kerjabakti santri untuk kebersihan lingkungan dan perawatan pohon-pohon penghijauan;
Bagi para santri yang telah menyelesaikan pendidikannya, baik yang telah menamatkan pedidikan tingkat Aliyah ataupun Universitas direkomendasikan agar mereka  kembali ke kampung halaman, mengabdikan ilmu yang telah dituntut di Bandung Jawa Barat untuk mendakwahkan syiar Islam, sesuai dengan kapasitas dan profesi masing-masing alumni pondok pesantren Hurriyatul Ummah. Mereka para alumni diantarnya ada yang berprofesi sebagai PNS di Kementerian Agama, Guru, Pegawai PEMDA dan bahkan ada yang menjadi anggota dewan di DPRD Kab/Kota di daerah perbatasan Timor Leste, seperti: Alor, Atambua, Pulau Rote dan Flores.

VISI dan MISI

I. Visi
"Membentuk kader-kader Muslim yang kaffah dan mampu menjadi avant-guard (penjaga gawang) bagi penguatan aqidah islamiyah"

II. Misi
Sebagai sebuah institusi Pendidikan non formal yang akan melahirkan pribadi-pribadi Muslim yang kaffah, berkarakter serta berjiwa kemandirian, maka misi Pesantren Hurriyatul Ummah dalam mengembangkan sistem pendidikannya  dituangkan dalam beberapa misi sebagai berikut:
1.     Menanamkan fondasi keislaman yang kokoh berdasarkan al-Qur'an dan Sunnah;
2.     Mencetak juru da'wah (Da'i) yang militan berwawasan plural dan multikultural;
3.     Membentuk pribadi Muslim yang berakhlakul karimah, mandiri, terampil dan maju;
4.     Menggalang kesatuan dan persatuan di antara kaum Muslimin Indonesia dalam memberikan daya dukung terhadap pembangunan iman dan taqwa;
5.     Menggalang kesatuan dan persatuan di antara ummat manusia, sebagai implementasi ajaran islam yang rahmatan lil ‘alamin.

              Panca Jiwa Pondok
1.   Keikhlasan
2.   Kesederhanaan
3.   Berdikari
4.   Ukhuwah Diniyah
5.   Kebebasan
Motto
o   Berbudi Tinggi
o   Berbadan Sehat
o   Berpengetahuan Luas

o   Berfikiran Bebas

Tidak ada komentar:

Posting Komentar